“Halo kamu, yang raganya selalu saya tunggu di ujung
Beranda..”
Reuben masih duduk di bangku depan pintu, menanti
kehadiran sosok di dalam mimpinya.
Sosok hidup, ia begitu berpengaruh kuat terhadap Reuben.
“Jadi, bagaimana kabar di sisa hari terakhirmu? Apakah
London cukup mampu buatmu berubah?”
Reuben berbicara kepada sebuah foto, digenggamnya setiap
kali ia pergi ke Rumah itu.
“Kau tahu? Aku sudah melewati 2 hujan di 2 tahun
terakhir. Sekarang, adalah yang ketiga. Masihkah kau enggan mengingat janji
sore itu?”
Lagi, setelah sekian kalinya Reuben menghela nafas. Jaket
yang ia kenakan masih sama seperti saat terakhir ia bertemu..orang itu.
Kedua tangannya makin merapat kala angin tipis menembus
kulitnya.
Dingin, semakin dingin.
Lalu ia sandarkan punggungnya pada dinding.
“Di Beranda ini.. aku sudah cukup lama menunggu kamu yang
tak kunjung datang”
Kedua tangan Reuben yang merapat, kini meregang.
Foto di tangan kirinya basah terkena tetes air hujan dari
atas plafon yang rendah.
Tangan kanan Reuben menyekanya, kemudian ia kembali
mengenggamnya.. di tangan kiri.
Sekai lagi ia memandang foto itu.
Sebuah wajah, yang selama 3 tahun terakhir ini hadir di
mimpinya. Membawa kenangan di masa lalu, serta mengingatkan akan janji yang
harus di tepati pada tahun pertama.
Sebuah kenyataan berkata, ini tahun ketiga.
Di mana yang seharusnya telah terjadi di tahun-tahun
sebelumnya,
Namun tak kunjung terjadi.. sampai pada akhirnya
terjadilah tahun ketiga.
Di Beranda itu, Reuben masih menunggu. Pandangannya menyapu
sekeliling, berharap akan ada sesuatu yang datang..
Dia ada di situ sejak sore, dan kini senja mulai terlihat
di matanya.
“Kau tahu? Aku sudah tidak tahan lagi..”
Foto di tangan itu, kini berbeda..
Foto di tangan itu, kini berbeda..
Mulai muncul lipatan di kedua sisinya. Warna di sudutnya
meluntur terkena air hujan.
Selama ini, Reuben menagih janji seseorang yang katanya
akan datang di musim hujan tahun terakhir.
Namun selama 2 tahun ini, yang datang hanyalah hujan
kosong.
Hujan yang turun dengan pengharapan tanpa kejadian.
“Aku sudah pernah begini di tahun genap. Sekarang adalah
waktunya.. tahun ganjil. Kau seharusnya datang..”
Reuben menatap foto itu, sekali lagi.
Kemudian cairan basah perlahan turun dari mata..membasahi
pipi hingga dagunya.
Tangan Reuben kini menggenggam foto itu. Diremasnya.. sampai pada akhirnya ia membuang
foto itu ke pekarangan..
Sudah gelap. Lampu di sekitar pekarangan mulai
dinyalakan. Namun orang di dalam rumah itu tak kunjung keluar. Dari bangkunya, Reuben bangkit.. mencoba
melihat ke dalam rumah.
Dari balik tirai, Reuben melihat wanita paruh baya itu. Sosok
yang selama ini hanya mampu ia lihat dari balik tirai. Menunggu selama 3 tahun
terakhir ini, dan selama itu pula ia hanya mampu singgah di Beranda, tak berani
untuk bisa masuk ke dalam Rumah itu.
Wanita itu sedang duduk, menonton tv dan memegang cangkir
kecil. Dari kejauhan Reuben memandang, sampai akhirnya wanita itu sadar bahwa
sedang diawasi..
“Kiran, kau kah itu?”
Wanita itu bangkit dari kursinya, Reuben perlahan mundur
menjauhi pintu. Ia tak ingin wanita itu
tahu bahwa dia ada di sini.
Datang ke sini setiap 3 tahun, di musim hujan tahun
terakhir..
Reuben berbalik, ia hendak pergi meninggalkan rumah itu
sampai akhirnya pintu terbuka. Wanita itu memanggil..
“Kau, kemarilah.”
Reuben tak berbalik. Ia terus memalingkan muka,
“Kau mencari siapa?”
Wanita itu masih di ambang pintu, mencari tahu siapa pria
yang ada di Beranda rumahnya.
“Sampaikan salam saya kepada Kiran.”
Reuben kini melangkah, pergi meninggalkan rumah itu
dengan berbagai serangan rasa. 3 tahun sudah penantian panjang, menanti kekasih
yang bertolak ke London demi pendidikan, untuk pulang ke Indonesia. Sekadar memberi salam, kini sudah cukup. Kiran tak menepati janjinya pada sore hari
beberapa tahun lalu..
“Aku janji akan
kembali, pada musim hujan di tahun terakhir besok..”
Hanya itu yang bisa Reuben ingat.
Kemudian Kiran meninggalkan foto terakhirnya bersama
Reuben, pada sore itu juga.
Hanya itu.. satu-satunya kenangan yang bisa Reuben lihat.
Dan kini, kenangan itu telah ditinggalkannya di
pekarangan rumah Kiran...
***
Malam itu, 1 jam setelah hujan berhenti.
Sebuah mobil melesat masuk ke pekarangan,
Kacanya terlihat basah dan berembun.
Pintunya terbuka, lalu seseorang keluar dari sana..
“Ini ongkos dari Bandara sampai sini, kembaliannya tolong
ambil saja”
Wanita itu tersenyum ramah kepada pria di dalam mobil
tersebut. Sekejap kemudian akhirnya
mobil itu melesat pergi, meninggalkan pekarangan..
Sepatu kets wanita itu menginjak rumput yang basah, dan
kini ia telah tiba di Beranda.
Pandangannya menyapu sekeliling rumah, hingga ia mampu
melihat tanaman-tanaman dalam pot.
“Rupanya Ibu masih sabar merawatnya..”
Tangannya yang dingin kaku, mengetuk pintu di depannya.
Dari luar terlihat tirai di balik jendela.
Ia tak melihat siapapun di dalam.
Sampai akhirnya, seseorang menepuk pundaknya..
“Kiran..”
“Ibu! Ini aku..”
“Ibu! Ini aku..”
Kiran jatuh ke pelukan ibunya, setelah sekian lama di 3
tahun ini ia tak mampu merasakan sebuah pelukan yang hangat, melebihi saat
dirinya duduk di depan cerobong asap.
Ini lebih hangat dari kehangatan manapun.
“Sudah sangat lama, Kiran. Kenapa kau baru tiba
sekarang?”
“3 tahun ini aku sedang merencanakan sesuatu, Bu.”
“Merencanakan apa?”
Kiran melepas pelukannya, ia menghela nafas sebentar
kemudian mulai berbicara..
“Aku merencanakan pendidikanku selanjutnya di Sydney, dan
mungkin akan lebih lama lagi. Kuharap Ibu mau ikut denganku, ya?”
Wanita tua di depan mata Kiran, kini tatapannya muram.
Perasaan senang memang sedang dirasanya, melihat anak
wanita satu-satunya pulang dari London setelah 3 tahun lamanya.
Namun ada satu lagi perasaan yang tiba-tiba menyerang
hatinya.
“Kau lupa dengan janjimu?”
“Janji? Apakah aku pernah berjanji dengan Ibu?”
Wanita itu diam. Memandang Kiran dengan serius, menunggu
apakah Kiran akan mengingat sesuatu.
Sedangkan Kiran, ia menatap balik Ibunya dengan penuh
tanda tanya.
3 tahun di London, membuatnya berubah.. membuatnya lupa
segala yang pernah diucapkannya sebelum pergi.
“Tadi ada yang mencarimu.”
“Siapa, bu?”
“Dia di sini selama musim hujan di tahun terakhir. Sudah di 3 tahun ini, dia menunggu. Duduk di Beranda seraya menatap hujan. Hujan
yang kosong..”
Kiran belum bisa menangkap maksud dari perkataan ibunya,
sampai akhirnya.. ia melihat sesuatu di pekarangan..
Kiran menghampirinya, lalu mendapati sesuatu yang
ditutupi tanah basah.
Kiran membersihkannya dengan tangan kosong.
Lalu ia dapat melihat semuanya.
Pandangannya kini beralih kepada ibunya yang masih
berdiri di ambang pintu..
“Bu, apakah dia akan kembali lagi?”
Ibunya berjalan menghampiri Kiran. Lalu memeluk Kiran dengan sangat erat,
kemudian membisikkan sesuatu di telinganya..
“Ia akan kembali, pada musim hujan terakhir di tahun
keempat..”